Senin, 18 Januari 2010

TEORI KOIMUNIKASI MASSA

I. 5 (Lima) Definisi & Analisa Definisi Komunikasi Massa

a. Menurut Bittner

Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner (Rakhmat,seperti yang disitir Komala, dalam karnilh, dkk.1999), yakni: komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people). Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa komunikasi massa itu harus menggunakan media massa. Jadi sekalipun komunikasi itu disampaikan kepada khalayak yang banyak, seperti rapat akbar di lapangan luas yang dihadiri oleh ribuan, bahkan puluhan ribu orang, jika tidak menggunakan media massa, maka itu bukan komunikasi massa. Media komunikasi yang termasuk media massa adalah radio siaran, dan televisi- keduanya dikenal sebagai media elektronik; surat kabar dan majalah- keduanya disebut dengan media cetak; serta media film. Film sebagai media komunikasi massa adalah film bioskop.

b. Menuru Gebner

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut Gerbner (1967) “Mass communication is the tehnologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societes”. (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat indonesia (rakhmat, seperti yang dikutip Komala, dalam Karnilah, dkk.1999).

Dari definisi Gerbner tergambar bahwa komunikasi massa itu menghasilkan suatu produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut disebarkan, didistribusikan kepada khalayak luas secara terus menerus dalam jarak waktu yang tetap, misalnya harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan. Proses memproduksi pesan tidak dapat dilakukan oleh perorangan, melainkan harus oleh lembaga, dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

c. Menurut Meletzke

Definisi komunikasi massa dari Meletzke berikut ini memperlihatkan massa yang satu arah dan tidak langsung sebagai akibat dari penggunaan media massa, juga sifat pesannya yang terbuka untuk semua orang. Dalam definisi Meletzke, komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang menyampaikan pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak langsung dan satu arah pada publik yang tersebar (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam Karlinah. 1999). Istilah tersebar menunjukkan bahwa komunikan sebagai pihak penerima pesan tidak berada di suatu tempat, tetapi tersebar di berbagai tempat.

d. Menurut Freidson

Definisi komunikasi massa menurut Freidson dibedakan dari jenis komunikasi lainnya dengan suatu kenyataan bahwa komunikasi massa dialamatkan kepada sejumlah populasi dari berbagai kelompok, dan bukan hanya satu atau beberapa individu atau sebagian khusus populasi. Komunikasi massa juga mempunyai anggapan tersirat akan adanya alat-alat khusus untuk menyampaikan komuniaksi agar komunikasi itu dapat mencapai pada saat yang sama semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat. (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam Karlinah. 1999).

Bagi Freidson, khalayak yang banyak dan tersebar itu dinyatakan dengan istilah sejumlah populasi, dan populasi tersebut merupakan representasi dari berbagai lapisan masyarakat. Artinya pesan tidak hanya ditujukan untuk sekelompok orang tertentu, melainkan untuk semua orang. Hal ini sesungguhnya sama dengan istilah terbuka dari Meletzke. Freidson dapat menunjukkan ciri komunikasi massa lain yaitu dengan adanya unsur keserempakan penerimaan pesan oleh komunikan, pesan dapat mencapai pada saat yang sama kepada semua orang yang mewakili berbagai lapisan masyarakat. Karena dalam proses komunikasi massa ada sifat keserempakan dalam penerimaan pesan.

e. Menurut Wright

Wright mengemukakan definisinya sebagai berikut: “This new form can be distinguished from older types by the following major characteristic: it is directed toward relatively large, heterogeneus, and anonymous audiences; messages aretransmitted publicly, often-times to reach most audience member simultaneously, and are transeint in character; the communicator tends to be, or to operate whitin, a complex organization thet may involve great expense” (Rakhmat seperti yang dikutip dalam Komala, dalam Karlinah. 1999).

Menurut Wright, bentuk baru komunikasi dapat dibedakan dari corak-corak yang lama karena memiliki karakteristik utama sebagai berikut: diarahkan pada khalayak yang relatif besar, heterogen dan anonim; pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas (khusus untuk media elektronik, seperti siaran radio siaran dan televisi).

Seperti halnya Gerbner yang dikemukakan bahwa komunikasi massa itu akan melibatkan lembaga, maka Wright secara khusus mengemukakan bahwa komunikator bergerak dalam organisasi yang kompleks.

Analisa Teori Komunikasi Massa

Menyimak berbagai definisi massa yang dikemukakan para ahli komunikasi , nampaknya terdapat sedikit perbedaan yang mendasar atau prinsip, bahkan definisi-definisi itu satu sama lain saling melengkapi. Hal ini telah memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian komunikasi massa. Bahkan, secara tidak langsung dari pengertian komunikasi massa dapat diketahui pula ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dari bentuk komunikasi lainnya.

Hal ini dapat kita analisa dari dua definisi Teori Komunikasi Massa menurut Gebner dan Wright :

Gebner

Wright

· Proses memproduksi pesan tidak dilakukan perorangan tetapi oleh lembaga

· komunikator bergerak dalam organisasi yang kompleks (menyangkut berbagai pihak yang terlibat dalam proses komunikas massa, mulai dari menyusun pesan sampai pesan diterima oleh komunikan).

· Produk disebarkan secara terus-menerus dalam jarak waktu yang tetap (harian, mingguan, dwimingguan atau bulanan )

· pesan disampaikan secara terbuka, seringkali dapat mencapai kebanyakan khalayak secara serentak, bersifat sekilas

· komunikasi massa akan banyak dilakukan oleh masyarakat industri.

· Penggunaan seperangkat alat teknologi dengan sendirinya menyebabkan komunikasi massa itu membutuhkan biaya relative besar

Dari perbedaan definisi teori Komunikasi Massa antara Gerbner dan Wright kita dapat menarik kesimpulan bahwa Gebner mengungkapkan definisi komunikasi secara umum sedangkan definisi komunikasi massa yang dikemukakan Wright ini merupakan definisi yang lengkap, yang dapat menggambarkan karakteristik momunikasi massa secara jelas.

Wright menjelaskan secara terperinci tentang Organisasi komplek yang menyangkut berbagai pihak yang terlibat dalam proses komunikas massa, mulai dari menyusun pesan sampai pesan diterima oleh komunikan. Misalkan, bila pesan disampaikan melalui media cetak (majalah dan surat kabar), maka pihak yang terlibat diantaranya adalah pemimpin redaksi, editor, layout man, editor, dan korektor. Sedangkan bila pesan disampaikan melalui media elektronik radio siaran, maka pihak yang terlibat diantaranya adalah penyiar dan operator. Bila pesan disampaikan melalui media televisi, maka pihak yang terlibat akan lebih banyak lagi, seperti camera man, floor man , lighting man, pengarah acara, sutradara, operator, dan petugas audio. Penggunaan seperangkat alat teknologi dengan sendirinya menyebabkan komunikasi massa itu membutuhkan biaya relative besar.

II. 3 (Tiga) Teori komunikasi Massa

Pembahasan berikut ini adalah teori komunikasi massa yang bernuansa teori efek media (theories of media effects). Menurut Straubhaar dan LaRose (2000), disamping mengkaji tentang apa saja efek media terhadap manusia, para peneliti juga membuktikan bagaimana peranan media terhadap manusia secara psikis.

a. Teori Peluru atau Jarum Hipodermik

Teori peluru ini merupakan konsep awal efek komunikasi massa oleh para pakar komunikasi tahun 1970-an dinamakan pula hypodermic needle theory (teori jarum hipodermik). Teori ini ditampilkan tahun 1950-an setelah peristiwa penyiaran kaleideskop statsiun radio siaran CBS di Amerika berjudul the Invansion from Mars (Effendy.1993: 264-265).

Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa, dan komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengasumsikan bahwa seorang komunikator dapat menembak peluru komunikasi yang begitu ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif). Pengaruh media sebagai hypodermic injunction (jarum suntik) didukung oleh munculnya kekuatan propaganda Perang Dunia I (1914-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945).

Teori peluru yang dikemukakan Wilbur Schram pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, dengan memintakepada para pendukungnya untuk menganggap teori ini tidak ada, sebab khalayak yang menjadi sasaran media massa itu ternyata tidak pasif. Pernyataan Schramm ini didukung oleh Paul Lazarsfeld dan Raymond Bauer.

Lazarsfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi, mereka tidak jauh terjerembab, karena kadang-kadang peluru tersebut tidak menembus. Adakalanya pula efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak. Seringkali pula khalayak yang dijadikan sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang diinginkannya dari media massa. Jika menemukannya, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan predisposisi dan kebutuhan mereka.

Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan para pakar komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori peluru tadi. Kemudian muncul teori limited effect model atau model efek terbatas, sebagai hasil penelitian Hovland yang dilakukan dengan menayangkan film bagi tentara. Hovland mengatakan bahwa pesan komunikasi efektif dalam menyebarkan informasi, bukan dalam mengubah perilaku. Penelitian Cooper dan Jahoda pun menunjukkan bahwa persepsi selektif dapat mengurangi efektivitas sebuah pesan. Penelitian Lazarsfield dan kawan-kawan terhadap kegiatan pemilihan umum menampakkan bahwa hanya sedikit saja oramh-orang yang dijadikan sasaran kampanye pemilihan umum yang terpengaruh komunikasi massa.

b. Teori Divusi Inovasi

Model difusiinovasi akhir- akhir ini banyakl digunakan sebagai pendekatan dalam komunikasi pembangunan, terutama dinegara-negara sedang berkembang seperti Indonesia atau dunia ketiga. Tokohnya Everett M. Rogers mendefinisikan difusi sebagai proses dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu tertenti di antara para anggota suatu sistem social. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan salaing bertukar informasi tersebut untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam pesan terdapat ketermasaan(newness) yang memberikan cirri khusus kepada difusi yang menyangkut ketakpastian (uncertainty). Derajat ketidakpastian seseorang akan dapat dikurangi dengan jalan memperoleh informasi (lihat Effendy. 1993; Severin dan Tankard. 1988; mcQuail dan Windahl.1993, Liliweri.1991).

Unsur utama difusi adalah (1) inovasi, (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu, (3) dalam jangka waktu tertentu, (4) Diantara para anggota suatu system social. Inovasi adalah suatu ide, karya atau objek yang dianggap baru oleh seseorang. Ciri-ciri inovasi yang dirasakan oleh para anggota suatu system social menentukan tingkat adopsi: (1) relative advantage (keuntungan relatif), (2) compatibility (kesesuaian), (3) complexity (kerumitan), (4) triability (kemungkinan dicoba), (5) observability (kemungkinan diamati).

Relative advantage adalah suatu derajat dimana inovasi dirasakan lebih baik daripada ide lain yang menggantikannya. Derajat keuntungan relatif tersebut dapat diukur secara ekonomis, tetapi faktor prestasi social, kenyamanan dan kepuasan juga merupakan unsure penting. Compatibility adalah suatu derajat dimana inovasi dirasakan ajeg atau konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman dan kebutuhan mereka melakukan adopsi. Complexity adalah mutu derajat dimana inovasi dirasakan sukar untuk dimengerti dan dipergunkan. Trialability adalah mutu derajat dimana inovasi dieksperimentasikan pada landasan yang terbatas. Observability adalah suatu derajat dimana inovasi dapat disaksikan oleh orang lain.

Umumnya aplikasi komunikasi massa yang utama berkaitan dengan proses adopsi inovasi (hal-hal/nilai baru). Hal ini sangat relevan baik pada masyarakat sedang, berkembang maupun masyarakat yang sudah maju. Kondisi perubahan social dan teknologi dalam masyarakatmmelahirkan kebutuhan yang dapat menggantikan metode lama dengan metode baru. Semua itu menyangkut komunikasi massa karena berada dalam situasi dimana perubahan potensial bermula dari riset ilmiah, dan kebijaksanaan umum yang harus diterapkan oleh masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, sasaran dari upaya difusi inovasi adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha-usaha difusi inovasi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1920-an dan 1930-an, dan sekarang menjadi gambaran bagi program-program pembangunan di negara yang sedang berkembang. Usaha-usaha ini tidak hanya berhubungan dengan masalah pertanian saja tetapi juga dengan masalah kesehatan , social politik. Jauh sebelum ada pemikiran tentang pengujian pengaruh antarpribadi dalam riset komunikasi massa, usaha-usaha ini telah dipraktikan oleh ahli sosiaologi pedesaan dan agen-agen perubahan (Katz, 1960 dalam Dennis McQuail, pada Betty, dalam Karlinah, dkk.1999).

Everett M. Rogers dan Floyd G. Shoemaker mengemukakan bahwa teori difusi inovasi dalam prosesnya ada 4 (empat) tahap, yaitu: pengetahuan, persuasi, keputusan dan konfirmasi.

1. Pengetahuan : Kesadaran individu akan adanya inovasi dan pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi.

2. Persuasi : Individu membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap inovasi.

3. Keputusan : Individu melibatkan diri pada aktivitas yang mengarah pada pilihan untuk menerima atau menolak inovasi.

4. Konfirmasi : Individu mencari penguatan (dukungan) terhadap keputusan yang telah dibuatnya, tapi ia mungkin saja berbalik keputusan yang telah dibuatnya, tapi ia mungkin saja berbalik keputusan jika ia memperoleh isi pernyataan yang bertentangan (McQuail, 1985: 61).

c. Teori Pembelajaran Sosial

Selama beberapa tahun kesimpulan Klapper dirasakan kurang memuaskan. Penelitian dimulai lagi dengan memakai pendekatan baru, yang dapat menjelaskan pengaruh media yang tak dapat disangkal lagi, terutama televisi terhadap remaja.Muncullahteori baru efek media massa yaitu social learning theory (teori pembelajaran social). Teori ini diaplikasikan pada perilaku konsumen, kendati pada awalnya menjadi bidang penelitian komunikasi massa yang bertujuan untuk memahami efek terpaan media massa. Berdasarkan hasil penelitian Albert Bandura, teori ini menjelaskan bahwa pemirsa meniru apa yang mereka lihat di televisi, melalui suatu proses observational learning (pembelajaran hasil pengamatan). Klapper menganggap bahwa “ganjaran” dari karakter TV diterima mereka sebagai perilaku antisocial, termasuk menjadi toleran terhadap perilaku perampokan dan kriminalitas, menggandrungi kehidupan glamour seperti di televisi.

Contoh Teori Pembelajaran Sosial dalam Iklan

“Citra, Iklan dan Gender”

Teori Pembelajaran sosial dapat kita gunakan untuk membandingkan iklan zaman dulu dengan iklan sekarang yang sangat menonjolkan perbedaan nilai social. Secara umum, citra perempuan dalam iklan yang ditayangkan media massa di Indonesia saat ini jelas menempatkan tubuh sebagai pusat makna. Sebagai gambaran bagaimana bergesernya pusat pencitraan menuju tubuh, lihatlah sebuah iklan yang pernah terbit pada surat kabar Star Weekly pada tahun 50-an mengenai bir, yakni iklan “Java Bier”. Ditilik dari mereknya terlihat upaya untuk melakukan “pribumisasi” dari produk yang datang dari Barat itu.

Dalam iklan ini terdapat gambaran kehidupan sebuah keluarga pribumi. Sang ayah duduk santai (mungkin sedang menikmati leisure time) di beranda rumah yang teduh dan nyaman mengenakan jas dan kopiah membaca surat kabar, sementara sang (perempuan) istri dengan pakaian kebaya (Jawa) datang menyuguhkan segelas bir. Dua anak laki-laki dan perempuan berdiri bermain boneka di dekat mereka. Di samping gambar tersebut terdapat gambar orang minum bir dengan kalimat;”Orang tegap dan koeat minoem Java Bier”. Di bawah gambar terdapat teks dengan judul “Satoe Bapa Jang Gagah”, diikuti uraian;”Sehat dan koeat, oelet bekerdja, telah membikin ia dapat mentjapai kedoedoekan jang baik, hingga dia poenja kaloewarga boleh bangga atas ini bapa jang gagah. Orang-orang jang begitoe koeat dan dikagoemi minoem selamanja: Java Bier”.

Yang luar biasa dari iklan ini adalah terdapat kesan atau citra bahwa seolah-olah bir sudah menjadi minuman sehari-hari seperti kopi, teh atau yang lain. Ini terlihat dari sikap sang istri yang menyuguhkan minuman tersebut dengan ekspresi santai. Sebuah citra tentang keluarga yang damai, dengan dua anak yang masih kecil, ditambah cara menikmati waktu senggang yang maju dan modern, dengan bir. Citra tersebut tidak ditampilkan dengan bahasa yang rumit. Kekuatan pesan antara teks tulisan dan ilustrasi relatif seimbang dan saling menunjang. Selanjutnya, citra yang tidak memungkinkan ditampilkan lewat kata-kata, yang jika harus diuraikan akan terlalu panjang dan bertele-tele, diambil alih oleh ilustrasi. Proposisi dalam teks tulisan juga sangat koheren: bahwa bapak yang sehat dan kuat, ulet bekerja, pada akhirnya akan mendapat kedudukan yang layak, patut dihormati dan dikagumi. Orang-orang semacam inilah yang minum “Java Bier”.

Pada iklan tersebut rupanya citra tentang “kejantanan” masih dinyatakan secara implisit alias tidak terang-terangan. Pusat citra adalah sang suami yang gagah karena minum bir. Sementara perempuan dicitrakan sebagai istri yang baik karena memahami citra kegagahan itu dengan menyuguhkan bir. Di situ terdapat citra tradisional mengenai perempuan dan laki-laki. Sebagai bagian budaya maskulin, budaya macho, iklan tersebut merumuskan konsep kejantanan dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam kehidupan keluarga. Dalam iklan tersebut keperkasaan dicitrakan dengan keberhasilan sang bapak yang mencapai kedudukan bagus dalam masyarakat dan dalam pekerjaannya sehingga bisa menjadi kepala keluarga yang sukses. Di situ, tubuh belum memainkan peran sentral dari pencitraan.

Bandingkan dengan iklan bir zaman sekarang yang secara terang-terangan mengekplorasi citra “kejantanan” dan “keseksian” sebagai pusat citra, yakni dengan menggunakan citra perempuan melalui tubuhnya dalam konotasi seksual. Perempuan dalam iklan bir zaman sekarang dicitrakan sebagai bentuk libidinal alias makna dalam hubungan laki-laki perempuan dalam bentuk pesona seksual.

Contoh lain, pada tahun 1941 dalam Almanak Bale Poestaka (Volksalmanak Djawi) terbit iklan sabun mandi Lifebuoy. Seperti iklan “Java Bier”, iklan ini juga menampilkan citra laki-laki “perkasa” dengan aksentuasi yang sedikit karikatural. Ilustrasi iklan tersebut menggambarkan seorang laki-laki berjas, bersarung dan lagi-lagi memakai kopiah, duduk diapit dua perempuan dengan rambut diikat di belakang memakai baju “modern” dengan kain panjang khas “pribumi”. Si laki-laki tersenyum bangga, percaya diri dan sedikit sombong menghisap sebatang rokok. Gadis yang satu menyalakan api untuk si laki-laki, sedangkan gadis yang satunya menyodori segelas minuman, sementara ada dua laki-laki di belakangnya kelihatan melotot terkagum-kagum. Di bawahnya terdapat uraian;”Kanapa si Amat ditjintai oleh gadis-gadis? Kanapa gadis-gadis soeka melajankannja? Karena ia tjantik parasnja…Karena ia haroem baoenja…Sebab…ia senantiasa mandi dengan Lifebuoy”.

Dalam iklan tersebut, pusat pencitraan adalah laki-laki, atau lebih tepatnya tubuh laki-laki sebagai simbol kegagahan. Pusat pencitraan tidak terletak pada tubuh perempuan. Bandingkan dengan iklan sabun mandi Lifebuoy zaman sekarang yang menyandarkan acuan citra pada kondisi ideal dari sebuah keluarga. Atau bandingkan dengan mayoritas iklan sabun di televisi kita sekarang dimana hampir semuanya menempatkan tubuh perempuan sebagai pusat pencitraan.

Dari dua contoh di atas yang kemudian kita bandingkan dengan iklan zaman sekarang, satu hal dapat ditandai, bahwa tubuh perempuan telah menggeser tubuh laki-laki dalam proses pencitraan sebuah produk. Pertanyaannya adalah: jika pada tingkatan bentuk (yakni tubuh sebagai pusat pencitraan) telah mengalami pergeseran, apakah pada tingkatan substansi juga telah mengalami perubahan?

Pada iklan “Java Bier” dan “Lifebuoy” di atas menunjukkan citra hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan yang kurang lebih patriarkhis. Hubungan patriarkhis adalah hubungan yang menegaskan perbedaan posisi antara dua pihak: yang satu merupakan pusat yang lain pinggiran, yang satu lebih tinggi yang lain lebih rendah, yang satu lebih kuat yang lain lemah. Dalam konteks ini, sang pusat yang tinggi dan kuat, adalah kaum laki-laki, sementara kaum perempuan adalah sebagai pelengkap belaka. Laki-laki adalah sang patriarch, sementara kaum perempuan adalah sang “hamba”. Di situ ada garis tegas perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Mula-mula, perbedaan itu ditarik dari sumber genetis: bahwa secara biologis antara laki-laki dan perempuan, secara fundamental memang berbeda. Tapi, kategori ini kemudian diturunkan ke bumi, ke dalam kancah kehidupan historis, dalam budaya dan sistem sosial. Karena secara biologis berbeda, maka secara sosial-budaya dianggap niscaya berbeda belaka.

Dua kategori yang berbeda konteks, tiba-tiba dirancukan. Konteks biologis disamakan dengan konteks sosial-budaya. Hal itu kemudian juga dimantapkan dan dilegitimasi oleh nilai-nilai yang diproduksi oleh budaya masyarakat secara terus menerus. Maka, perempuan didefiniskan secara niscaya bahwa dia lemah, emosional, tidak rasional, sensitif, tidak mandiri, dan berbagai kategori lain yang mengacu pada stereotype negatif. Perempuan adalah makhluk kedua, semacam perhiasan atau bayang-bayang dan ekor kaum laki-laki. Bahkan teolog besar seperti Thomas Aquinas pun berfatwa bahwa perempuan adalah “makhluk yang belum sempurna”. Tempatnya pun ditentukan: di dapur, mengurus anak, memasak, ngerumpi, di atas ranjang dan bukan di kancah politik, ekonomi, pemikiran dan seni. Tempat perempuan adalah di wilayah domestik, karena wilayah publik adalah hak laki-laki.

Tentu, sejarah telah telanjur milik kaum laki-laki karena mereka yang menentukan aturan, memproduksi nilai-nilai moral tentang yang salah dan benar, menyusun penafsiran atas norma, dan melestarikannya dengan kekuasaannya di wilayah publik. Kebudayaaan pun cenderung mewakili kepentingan laki-laki. Hal itu diperkuat dengan kenyataan bahwa bahasa, simbol, benda-benda, warna, juga memiliki jenis kelamin. Walhasil, dalam kebudayaan yang maskulin tersebut, tanpa disadari, kaum perempuan pun kadang justru memperkuat dengan berpikir dan bertindak secara patriarkhis. Citra maskulin menyebar di mana-mana, ditelan secara halus melalui sistem budaya dan doktrin agama.

Maka, ketika kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari menjadi patriarkhis, produk-produk citra pun akan mengikuti pola yang sama. Dua contoh iklan di atas menunjukkan betapa perempuan memiliki kewajiban “mengabdi” kepada laki-laki. Pusat kehidupan adalah kaum laki-laki. Ketika perempuan mempercantik diri, mengelola rumah dengan baik, tujuannya adalah “memuaskan” laki-laki. Gadis-gadis soeka melajankan Si Amat, karena Si Amat adalah tujuan citra, apalagi setelah menggunakan sabun Lifebuoy.

III. Fenomena Komunikasi Massa

“Wacana Kapitalis dan Citra Perempuan dalam Iklan di televisi”

Studi kasus Iklan Hemaviton (iklan obat suplemen)

Tak dapat dimungkiri perempuan adalah salah satu sasaran dan medan utama dalam arus pencitraan dalam iklan. Berbagai telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat konsumer menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama. Artinya, budaya konsumer cenderung identik dengan eksplorasi dan eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan, lebih spesifik, pada tubuh perempuan. Tubuh perempuan diolah, dibajak, dipotong-potong sedemikian rupa sebagai komoditas sekaligus sebagai penyerap dan konsumen utama.

Dan dalam beberapa hal, konsep baru mengenai kecantikan dalam budaya konsumer itu juga telah menyediakan berbagai pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan yang nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru mengenai eksistensi. Artinya, telah terbuka semacam proses demokratisasi atas citra diri kaum perempuan.

Dalam masyarakat tradisional (di Indonesia), perempuan cenderung tak memiliki banyak pilihan untuk merumuskan eksitensi dan citra dirinya karena masih terbelenggu oleh nilai-nilai normatif yang harus diterima secara sosio-kultural dan sosio-religius yang dianut secara doktriner. Ketika datang modernitas dan globalisasi acuan citra diri dalam masyarakat tradisional itu kemudian mengalami pelapukan sehingga citra lama secara niscaya lenyap dan kemudian citra baru yang disediakan oleh pasar siap menggantikannya.

Tapi justru pada titik inilah muncul paradoks: di satu pihak, perempuan bisa melepaskan diri diri dari belenggu tradisionalitas sembari mendapatkan kebebasan memilih citra, tapi di lain pihak, diam-diam dia telah menjadi korban dari ekspansi pasar. Perempuan adalah penguasa citra, terutama melalui tubuhnya, tapi pada saat yang sama sekaligus menjadi korban utamanya.

Keterlibatan perempuan dalam dunia iklan telah mengarahkan perempuan yang lain terlibat dalam arus kapitalisme. Dalam kaitannya dengan relasi gender, penyebarannya dan sosialisasi budaya konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan bahkan mengeluarkan ide tentang kesetaraan gender.

Dalam iklan Hemaviton di televisi kita yang menggambarkan bagaimana seorang perempuan yang wajib mengonsumsi kapsul itu jika ingin memuaskan pasangannya. Atau iklan obat suplemen yang menampilkan tokoh laki-laki yang perkasa di atas ranjang, tapi bukan untuk “mengabdi” kepada istri atau pacar, melainkan untuk mengukuhkan “kelaki-lakiannya”.

Fungsi tubuh telah bergeser dari fungsi organis/biologis/reproduktif ke arah fungsi ekonomi politik. Citra cantik dibentuk oleh media di dalam benak masyarkat secara tidak sadar, baik melalui iklan maupun tayangan acara-acara yang dihadirkan. Sebagian besar endorser yang digunakan dalam iklan adalah perempuan-perempuan dengan tubuh yang langsing,tinggi serta mempunyai paras yang cantik.

a. Komunikator

Kita sering kali tidak sadar bahwa tayangan iklan televisi yang kita konsumsi merupakan hasil dari konstruksi atas realitas yang pada akhirnya kita anggap sebagai suatu kebenaran yang berlaku umum mengenai kenyataan. Penelitian yang dilakukan Deana A. Rohlinger tentang Iklan dan Objektivikasi laki-laki menyajikan data yang menarik bahwa laki-laki secara meningkat merespon budaya konsumen dengan menginginkan citra sebagaimana yang ditampilkan dalam iklan-muda, kurus dan atraktif.

Dalam proses penyebaran konsumsi tersebut, salah satu agen utama dari ekspansi pasar global adalah media (massa) baik cetak, audio maupun audio- visual (televisi). Media massa itu sendiri pada akhirnya adalah juga suatu institusi pasar dimana informasi, ide-ide, nilai-nilai adalah komoditas yang coba didesakkan kedalam struktur kesadaran para konsumennya. Media massa adalah agen sekaligus produsen khusus yang dapat disebut sebagai pembentuk infrastuktur kedua dari pasar sehingga arus informasi, ide-ide dan nilai-nilai telah mengalami penyebaran yang semakin dahsyat dan dapat masuk kedalam ruang-ruang pribadi setiap orang.

Keterlibatan perempuan dalam dunia iklan telah mengarahkan perempuan yang lain terlibat arus kapitalisme. Dalam kaiatannya dengan relasi gender, penyebarannya dan sosialisasi budaya konsumen melalui iklan di media massa telah mengabaikan ide tentang kesetaraan gender.

Hampir semua iklan di Indonesia secara mencolok atau samar-samar, menampilkan hubungan gender yang dominatif. Iklan Hemaviton menunjukkan cara pikir patriarkhis secara gamblang dan sempurna: bahwa kesalahan ada di pihak perempuan. Lebih tepat, dalam kasus pemerkosaan, yang salah adalah jenis kelamin.

b. Pesan

Dalam iklan Hemaviton di televisi kita yang menggambarkan bagaimana seorang perempuan yang wajib mengonsumsi kapsul itu jika ingin memuaskan pasangannya. Atau iklan obat suplemen yang menampilkan tokoh laki-laki yang perkasa di atas ranjang, tapi bukan untuk “mengabdi” kepada istri atau pacar, melainkan untuk mengukuhkan “kelaki-lakiannya”.

Citranya berbeda, tapi substansinya tetap: bahwa laki-laki adalah pusat makna. Ketika obat itu dicitrakan dengan tubuh perempuan, maka maknanya adalah untuk “memuaskan” sang patriarch, tapi ketika diberlakukan pada tubuh laki-laki, maknanya adalah penegasan keperkasaan si patriarch sehingga para “hamba” harus memujanya. Dengan kata lain, laki-laki adalah ordinan, dan perempuan sub-ordinan dan hubungan di antara keduanya merupakan hubungan dominatif.

Inilah cara kerja budaya konsumsi; yakni dengan memberi kebebasan memilih citra dengan cara menyerapnya, sehingga yang melakukan konsumsi akan menjadi tergantung pada proses reproduksi yang dilakukan oleh industri citra; dia tidak dapat lagi keluar dari jerat jaring-jaring mitos yang kian meluas itu. Artinya, pada titik ini perempuan hanya dapat memiliki tubuhnya dengan cara menyerap sebanyak mungkin citra yang ada.

Dan dalam hal ini, kemampuan tubuh perempuan berada jauh di atas kemampuan kaum laki-laki. Melalui citra kecantikannya, perempuan menempatkan dirinya sebagai penguasa dunia. Lebih tepat, dengan tubuhnya, perempuan telah berhasil menundukkan dunia yang telah jadi milik kaum laki-laki dengan kosmetik dan fashion sebagai pusat citra yang kelak menjadi unsur utama dalam pembentukan identitas.

c. Media

Iklan Hemaviton maka sumber data yang digunakan adalah rekaman iklan Hemaviton yang sudah tayang di media televisi. Adapun rekaman yang digunakan adalah rekaman master dari iklan tersebut yang dikeluarkan oleh pihak rumah produksi melalui You-tube.

c. Komunikannya

Tak dapat dimungkiri perempuan adalah salah satu sasaran dan medan utama dalam arus pencitraan dalam iklan. Berbagai telaah para pakar mengenai kapitalisme dan masyarakat konsumer menunjukkan bahwa perempuan adalah salah satu teks utama. Artinya, budaya konsumer cenderung identik dengan eksplorasi dan eksploitasi yang mengarah pada kaum perempuan, lebih spesifik, pada tubuh perempuan. Tubuh perempuan diolah, dibajak, dipotong-potong sedemikian rupa sebagai komoditas sekaligus sebagai penyerap dan konsumen utama.

Dan dalam beberapa hal, konsep baru mengenai kecantikan dalam budaya konsumer itu juga telah menyediakan berbagai pilihan citra yang semakin banyak sehingga membuka kemungkinan yang nyaris tak terbatas dalam membangun identitas baru mengenai eksistensi. Artinya, telah terbuka semacam proses demokratisasi atas citra diri kaum perempuan.

Dalam Iklan hemaviton sangat berpengaruh terhadap sudut pandang dari komunikan tentang citra perempuan. Jadi kesimpulan analisis dari Iklan Hemaviton ternyata pihak sub-ordinan adalah sumber problem. Jika yang ordinan kaum laki-laki, maka yang salah adalah kaum perempuan, begitu juga sebaliknya. Padahal, ada sebab yang lebih substansial, bahwa problem ada pada nilai-nilai yang telah mapan dalam sistem sosial-budayanya. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya andil dalam memapankan sistem nilai tersebut. (Boleh jadi, tidak sedikit kaum perempuan yang secara tidak sadar berpikir dan bertindak lebih patriarkhis ketimbang laki-laki).

Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Bandung:Remaja Rosdakarya

Widyatama, Rendra. Pengantar Periklanan, Jakarta: Buana Pustaka, 2005.

Widyatama, Rendra. Bias Gender dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media Presindo, 2006.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar