Senin, 18 Januari 2010

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

  1. Anda adalah PRO suatu perusahaan, urai secara rinci Langkah tepat yang harus dilakukan untuk melaksanakan CSR yang mapu menghindar dari 4 kondisi yang tidak diharapkan yaitu :

1. Public Relations gagal menyampaikan pemahaman tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan pengejawantahannya dalam bisnis

2. Public Relations gagal menemukan kaitan antara CSR dengan kebutuhan komunitas

3. Public Relations gagal memahami psikologis yang menghubungkan CSR dengan komunitas

4. CSR masih dilakukan secara top down hingga kurang rasa memiliki dikomunitas

Pengertian Dasar CRS

CSR (corporate social responsibility) atau Tangung Jawab Perusahaan menurut Milton Friedman (Bertens,2004;292) adalah Tanggung jawab moral dari suatu perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Tentunya dalam hal ini tanggung jawab perusahaan bisa diarahkan kepada : Dirinya sendiri (perusahaan), karyawan, perusahaan lain. Ada 4 hal yang termasuk didalam apa yang disebut sebagai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, yaitu :

1. Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan social yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas.

2. Keuntungan ekonomis.

3. Memenuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.

4. Hormat pada hak dan kepentingan stakeholders atau pihak-pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan.

Pentingnya melakukan CSR

Lahirnya CSR dipengaruhi oleh fenomena DEAF (yang dalam Bahasa Inggris berarti tuli) di dunia industri. DEAF adalah akronim dari Dehumanisasi, Emansipasi, Aquariumisasi, dan Feminisasi (Suharto, 2007a: 103-4):

a. Dehumanisasi industry

Efisiensi dan mekanisasi yang semakin menguat di dunia industri telah menciptakan persoalan-persoalan kemanusiaan baik bagi kalangan buruh di perusahaan, maupun bagi masyarakat di sekitar perusahaan. “Merger mania” dan perampingan perusahaan telah menimbulkan gelombang PHK dan pengangguran. Ekspansi dan eksploitasi industri telah melahirkan ketimpangan sosial, polusi dan kerusakan lingkungan yang hebat.

b. Emansipasi hak-hak publik.

Masyarakat kini semakin sadar akan haknya untuk meminta pertanggung jawaban perusahaan atas berbagai masalah sosial yang seringkali ditimbulkan oleh beroperasinya perusahaan. Kesadaran ini semakinmenuntut kepedulian perusahaan bukan saja dalam proses produksi, melainkan pula terhadap berbagai dampak sosial yang ditimbulkannya.

c. Aquariumisasi dunia industri

Dunia kerja kini semakin transparan dan terbuka laksana sebuah akuarium. Perusahaan yang hanya memburu rente ekonomi dan cenderung mengabaikan hukum, prinsip etis dan filantropis tidak akan mendapat dukungan publik. Bahkan dalam banyak kasus, masyarakat menuntut agar perusahaan seperti ini di tutup.

d. Feminisasi dunia kerja

Semakin banyaknya wanita yang bekerja semakin menuntut penyesuaian perusahaan bukan saja terhadap lingkungan internal organisasi, seperti pemberian cuti hamil dan melahirkan, keselamatan dan kesehatan kerja, melainkan pula terhadap timbulnya biaya-biaya sosial, seperti penelantaran anak, kenakalan remaja, akibat berkurangnya atau hilangnya kehadiran ibu-ibu di rumah dan tentunya di lingkungan masyarakat. Pendirian fasilitas pendidikan, kesehatan dan perawatan anak (child care) atau pusat-pusat kegiatan olah raga dan rekreasi bagi remaja adalah beberapa bentuk respon terhadap isu ini.

Manfaat melakukan kegiatan CSR : Taken for Granted

Tiga lembaga internasional independen, Environics International (Kanada), Conference Board (AS), dan Prince of Wales Business Leader Forum (Inggris) melakukan survey tentang hubungan antara CSR dan citra perusahaan. Survey dilakukan terhadap 25 ribu konsumen di 23 negara yang dituangkan dalam The Millenium Poll on CSR pada tahun 1999 (lihat Bisnis dan CSR, 2007: 88-90).

Hasil survey menunjukkan bahwa mayoritas responden (60%) menyatakan bahwa CSR seperti etika bisnis, praktik sehat terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan, merupakan unsur utama mereka dalam menilai baik atau tidaknya suatu perusahaan. Sedangkan factor fundamental bisnis, seperti kinerja keuangan, ukuran perusahaan, strategi perusahaan atau manajemen, hanya dipilih oleh 30% responden.

Sebanyak 40% responden bahkan mengancam akan ”menghukum” perusahaan yang tidak melakukan CSR. Separo responden berjanji tidak akan mau membeli produk perusahaan yang mengabaikan CSR. Lebih jauh, mereka akan merekomendasikan hal ini kepada konsumenlain.

Jika dikelompokkan, sedikitnya ada empat manfaat CSR terhadap perusahaan (Wikipedia, 2008):

· Brand differentiation

Dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, CSR bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik, dan etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. The Body Shop dan BP (dengan bendera “Beyond Petroleum”-nya), sering dianggap sebagai memiliki image unik terkait isu lingkungan.

· Human resources

Program CSR dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru, terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat interviu, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang CSR dan etika bisnis perusahaan, sebelum mereka memutuskan menerima tawaran. Bagi staf lama, CSR juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi dan dedikasi dalam bekerja.

· License to operate

Perusahaan yang menjalankan CSR dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ”ijin” atau ”restu” bisnis. Karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas.

· Risk management

Manajemen resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun-tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan. Membangun budaya ”doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko-resiko bisnis.

Ada kecenderungan perkembangan CSR kini bergeser dari underestimate ke overestimate. Jika pada masa lalu pandangan terhadap CSR lebih banyak dipengaruhi Milton Friedman yang cenderung ”memusuhi” CSR. Kini, pandangan terhadap CSR lebih positif, bahkan terkadang overestimate. Seakan-akan CSR adalah panacea yang bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Padahal, manfaat CSR terhadap perusahaan tidaklah ”taken for granted” dan otomatis.

Salah satu tokoh yang kritis terhadap CSR adalah David Vogel, penyandang Solomon Lee Professor of Business Ethics pada Haas School of Business dan Professor of Political Science di University of California Berkeley. Menurutnya, perkembangan literatur CSR memiliki kelemahan yang seragam, yakni “tidak menimbang dengan hati-hati apa yang dapat dan tidak dapat dicapai oleh dan melalui CSR” (Jalal, 2006).

Dalam melakukan CSR kita harus mempunyai beberapa kriteria dalam menjalankan program CSR agar program tersebut mendapatkan hasil sesuai dengan yang diharapkan oleh perusahaan. Kriteria dalam menjalankan Program CSR meliputi :

1. Sustainable empowerment

Perusahaan harus mempu melaksanakan program CSR yang bersifat empowerment, yang bertujuan memberdayakan beneficciary self-reliant secara ekonomis maupun sosial.

2. Strategis alliance dengan organisasi nirlaba.

Kemitraan adalah factor penting dalam membangun obyektivitas misi dan vissi sebuah program CSR. Selai itu, kemitraan dengan pihak ketiga yang independent dan kridibel hampir pasti akan diinterprestasikan oleh public sebagai endorsement.

3. Employee participation

Sebuah program CSR yang berhasil menggalang partisipasi aktif karyawan perusahaan yang bersangkutan adalah program CSR yang bisa dibilang berhasil. Mewujudkan ”employee volunteerism” adalah tidak mudah.Kesan dari sebuah program CSR yang melibatkan relawan-relawan dari karyawan sendiri jauh lebih kuat dibandingkan apabila hanya CEO atau direktur dan beberapa karyawan saja berpartisipasi dalam acara launcing. Oleh karena itu, program CSR yang powerfull adalah sense of belonging-nya sangat kuat terlihat tidak hanya pada pimpinan perusahaan,tetapi seluruh karyawan .

4. CSR harus mampu membangun buffer sosial dan politik bagi perusahaan.

Apabila sebuah perusahaan bergerak di sektor ekstaktif yang rentan terhadap timbulnya masalah lingkungan, yang perlu diupayakan adalah memiliki sebuah program CSR yang berhubungan dengan nature preservation. Dalam implementasinya,perusahaan akan secara otomatis harus membangun hubungan dengan aktivis-aktivis lingkungan dan juga para pambuat kebijakan di bidang environmental management.

5. Perspektif PR adalah high-profile

Sebuah program CSR yang kuat adalah yang stand out, yang mudah dilihat,didengar dan diingat orang. Untuk bisa menjadi high-profile, tidak hanya memperhatikan skala kegiatan yang dilaksanakan sebagai bagian dari sebuah program CSR, tetapi juga strategi PR yang mendukung program tersebut.

Kriteria tersebut merupakan acuan penting dalam melakukan CSR sebagai langkah terbesar untuk mendapatkan keberhasilan CSR. Ukuran keberhasilan yang memenuhi kriteria SMART (spesifik, measureable, achievable, realistic, timely). Setiap pergerakan titik didalam peta jalan harus mengkaji penyerapan sumber daya (resources profile), keterlibatan sumber pendukung (supporting agents) dan resiko-resiko yang muncul (risk analysis).

CSR yang baik memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability dan responsibility, secara harmonis. Ada perbedaan mendasar diantara keempat prinsip tersebut (Supomo, 2004). Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven, karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.

Sebagai contoh, fairness bisa berupa perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas; transparency menunjuk pada penyajian laporan keuangan yang akurat dan tepat waktu; sedangkan accountability diwujudkan dalam bentuk fungsi dan kewenangan RUPS, komisaris, dan direksi yang harus dipertanggung jawabkan.

Sementara itu, prinsip responsibility lebih mencerminkan stakeholders-driven, karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Stakeholders perusahaan bisa mencakup karyawan beserta keluarganya, pelanggan, pemasok, komunitas setempat dan masyarakat luas, termasuk pemerintah selaku regulator. Disini, perusahaan bukan saja dituntut mampu menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan, melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu (Supomo, 2004).

Namun demikian, prinsip good corporate governance jangan diartikan secara sempit. Artinya, tidak sekadar mengedepankan kredo beneficience (do good principle), melainkan pula nonmaleficience (do no-harm principle) (Nugroho, 2006).

Perusahaan yang hanya mengedepankan benificience cenderung merasa telah melakukan CSR dengan baik. Misalnya, karena telah memberikan beasiswa atau sunatan massal gratis. Padahal, tanpa sadar dan pada saat yang sama, perusahaan tersebut telah membuat masyarakat semakin bodoh dan berperilaku konsumptif, misalnya, dengan iklan dan produknya yang melanggar nonmaleficience.

Panduan melakukan kegiatan CSR agar dapat terlaksana dengan baik

Good CSR memadukan kepentingan shareholders dan stakeholders. Karenanya, CSR tidak hanya fokus pada hasil yang ingin dicapai. Melainkan pula pada proses untuk mencapai hasil tersebut. Lima langkah di bawah ini bisa dijadikan panduan dalam merumuskan program CSR, termasuk Community Development.

1. Engagement

Pendekatan awal kepada masyarakat agar terjalin komunikasi dan relasi yang baik. Tahap ini juga bisa berupa sosialisasi mengenai rencana pengembangan program CSR. Tujuan utama langkah ini adalah terbangunnya pemahaman, penerimaan dan trust masyarakat yang akan dijadikan sasaran CSR. Modal sosial bisa dijadikan dasar untuk membangun ”kontrak sosial” antara masyarakat dengan perusahaan dan pihak-pihak yang terlibat.

2. Assessment

Identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang akan dijadikan dasar dalam merumuskan program. Tahapan ini bisa dilakukan bukan hanya berdasarkan needsbased approach (aspirasi masyarakat), melainkan pula berpijak pada rights-based approach (konvensi internasional atau standar normatif hak-hak sosial masyarakat).

3. Plan of action

Merumuskan rencana aksi. Program yang akan diterapkan sebaiknya memerhatikan aspirasi masyarakat (stakeholders) di satu pihak dan misi perusahaan termasuk shareholders di lain pihak.

4. Action and Facilitation

Menerapkan program yang telah disepakati bersama. Program bisa dilakukan secara mandiri oleh masyarakat atau organisasi lokal. Namun, bisa pula difasilitasi oleh LSM dan pihak perusahaan. Monitoring, supervisi dan pendampingan merupakan kunci keberhasilan implementasi program.

5. Evaluation and Termination or Reformation

Menilai sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program CSR di lapangan. Bila berdasarkan evaluasi, program akan diakhiri (termination) maka perlu adanya semacam pengakhiran kontrak dan exit strategy antar pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, melaksanakana TOT CSR melalui capacity building terhadap masyarakat (stakeholders) yang akan melanjutkan program CSR secara mandiri.

Bila ternyata program CSR akan dilanjutkan (reformation), maka perlu dirumuskan lessons learned bagi pengembangan program CSR berikutnya. Kesepakatan baru bisa dirumuskan sepanjang diperlukan.

  1. Berdasarkan pola atau alur dari Pemberdayaan Komunitas perusahaan, buat satu program pemberdayaan komunitas yang mampu memenuhi gambar alur, dan urai ap (termasuk material apa) yang harus ada pada masing-masing dimensi (5) yang ada pada alur pemberdayaan komunitas tersebut !

Pemberdayaan masyarakat (community empowering) telah menjadi istilah yang populer di masyarakat kita, khususnya di kalangan social worker atau penggiat aktivitas sosial, baik skala korporat, lembaga, maupun perorangan. Pemberdayaan masyarakat, atau istilah lain community development merupakan salah satu metode gerakan yang digunakan dalam menjalankan program pembangunan masyarakat, baik dalam aspek ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan, atau kombinasi semua aspek tersebut. Merupakan sebuah antitesis dari program-program sosial yang selama ini lebih bersifat charity atau belas kasihan.

Program community development juga dikatakan baik dan berhasil bila mana program tersebut tetap mampu berjalan secara berlanjut, mandiri, dan berkembang, serta tidak bergantung lagi kepada anggaran, donatur, atau kalangan inisiator program itu sendiri. Bilapun pada awal program ada peran serta donatur atau inisiator program, namun hal itu lebih bersifat stimulan (perangsang) dan inkubatif (penyiapan/pematangan). Ini berarti, masyarakat harus mampu menjalankan programnya secara mandiri, menghasilkan keuntungan (income) dari kegiatannya, yang selanjutnya digunakan dikelola untuk keberlanjutan program tersebut dan tentunya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Kata kuncinya adalah bagaimana agar program community development tersebut mampu mendampingi, mengenalkan dan mengakseskan masyarakat kepada mekanisme pasar. Bagaimana masyarakat bisa mengakses sumber daya modal, keterampilan dan keahlian, teknologi tepat guna, dan tentunya akses pasar yang mampu menampung hasil karya mereka secara berlanjut dan saling menguntungkan. Untuk mencapai masyarakat yang berdaya maka mereka harus bekerja (job), menghasilkan (productive), berpendapatan (income), menguntungkan (profit), bekerjasama atas dasar saling menguntungkan (networking), dan tentunya kuat menjaga komitmen (commitment).

Untuk memperjelas alur atau pola pemberdayan omunitas perusahaan maka perhatikan gambar berikut :


Gambar. Konsep Acuan Pemberdayaan Komunitas

Terdapat tujuh komponen pokok yang harus ada dalam proses pember-dayaan masyarakat, yakni penelitian, pelatihan, kerjasama, inovasi, pemangku kepentingan, tenaga pendamping, serta pengawasan dan evaluasi. Semua komponen tersebut diimplementasikan dalam konsepsi “partisipatif”.

Pertama, penelitian merupakan langkah awal (entry point) penggalian data dan informasi untuk dijadikan pedoman dalam menentukan rencana strategis (strategic plan) sesuai kebutuhan (needs). Metodologi yang dapat digunakan antara lain Participatory Rural Appraisal (PRA), Participatory Learning Action Planning (PLAP), Participatory Action Research (PAR), Participatory Rapid Community Appraisal (PARCA), Focused Group Discussion (FGD), dan Benchmark (Baseline Study).

Kedua, pelatihan dengan fokus pengembangan kapasitas (capacity building) terhadap target pemberdayaan. Pelatihan akan berjalan effektif apabila dilengkapi jalinan kerjasama dengan pihak lain yang memiliki kepakaran dan komitmen, serta mengandung muatan inovasi spesifik lokasi. Sinkronisasi semua komponen tersebut diwujudkan dari hasil penelitian.

Ketiga, selain para pemangku kepentingan yang notabene terlibat dan berkiprah dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, kehadiran tenaga pendamping cukup penting. Tenaga pendamping ini seyogianya gabungan dari petugas instansi pemerintah dan unsur LSM yang tinggal dan kontak langsung dengan masyarakat dalam rangka fasilitasi diskusi dan implementasi pemberdayaan. Disamping itu, tenaga pendamping juga berperan sebagai mediator antara masyarakat dengan sponsor program pemberdayaan.

Keempat, komponen yang tidak kalah pentingnya adalah pengawasan dan evaluasi yang secara partisipatif dilakukan oleh semua pemangku kepentingan dan pihak luar yang bersifat independen. Komponen ini merupakan masukan untuk modifikasi dan penyempurnaan kegiatan pemberdayaan agar pelaksanaannya berjalan efektif dan efisien.

Kelima, kegiatan-kegiatan yang memiliki prospek bagus dan berdayaguna patut dikembangkan (scaling-up). Berikutnya perlu disadari bahwa filosofi pemberdayaan adalah menciptakan kemandirian dan bukan ketergantungan. Konsep pemberdayaan bukan hanya ibarat memberikan kail untuk menangkap ikan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana cara menangkap ikannya. Oleh karena itu, pada saat kemandirian telah tercapai (empowerment), maka tiba saatnya untuk melepaskan diri dari masyarakat. Sebelumnya perlu disiapkan langkah-langkah khusus (exit strategy) yang akan diterapkan menjelang tahap itu (phase-out).

Pemberdayaan masyarakat bukanlah hal mudah, tetapi juga relatif tidak sulit. Komitmen, kesabaran, serta belajar sambil berbuat (learning by doing) dan berbuat secara berulang (iterative) merupakan kunci pokok dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat. Hal penting lainnya adalah agar semua proses kegiatan terdokumentasikan secara baik.

Dalam pembangunan pertanian, terdapat tiga permasalahan klasik yang dihadapi petani, yaitu lemahnya permodalan, terbatasnya kemampuan teknologi, dan rendahnya aksesibilitas pasar. Dengan kata lain, ketidakberdayaan petani terletak pada ketiga hal klasik tersebut dan sekaligus merupakan akar masalah yang harus dicarikan solusinya, yakni dalam rangka mengembangkan kapasitas mereka terkait dengan ketatalaksanaan agribisnis. Oleh karena itu, titik tumpu (entry point) rekomendasi implementasi Program CSR dalam kegiatan pembangunan pertanian selayaknya menyangkut ketiga permasalahan dimaksud.

Program pemberdayan Komunitas Perusahan

Program pemberdayaan masyarakat yang bisa menjelaskan lebih konkrit yakni sebuah program pemberdayaan yang melibatkan ribuan masyarakat petani tebu. Sugar Group Company, sebuah perusahaan produsen dan pemurnian gula pasir yang cukup mempunyai nama di Indonesia beberapa waktu lalu.

Harus diakui, masuknya Gulaku sebagai pemain di pasar gula pasir dengan inovasinya telah mengangkat derajat komoditas sembako itu lebih tinggi dari tadinya hanya produk yang berkutat di pasar-pasar tradisional dan warung-warung kelontong, menjadi produk yang hadir di toko-toko berpendingin ruang, bersih dan mewah. Gula pasir di tangan Sugar Group Company naik kelas dan bukan hanya menjadi produk kebutuhan pokok semata, namun juga prestisius. Dengan tagline yang kuat, didukung pencitraan dan hasil akhir produk yang baik, nama Gulaku telah menancap kuat di benak para konsumennya.

Coba saja tanya ibu-ibu rumah tangga terutama pasangan muda mengenai komsumsi gula pasir mereka. "Gulanya lebih kering, lebih bersih" begitu katanya. Soal harga memang agak lebih tinggi ketimbang gula pasir lainnya. Hal itu tidak menjadi masalah, karena selisihnya tidak sampai pada bilangan ribuan, tapi produk dan kemasan Gulaku lebih meyakinkan.

Idenya sebenarnya sangat sederhana, hanya mengemas gula pasir dengan kemasan yang baik dan menarik. Walaupun begitu Sugar Group Company, produsen Gulaku memang mempunyai perkebungan tebu, pabrik dan rafinasi (pemurnian) gula, sehingga keberlangsungan tersedianya produk ini di pasaran tidak tergantung pasokan. Berbeda jika Sugar Group hanya menjadi pengemas tanpa menguasai core produksi itu sendiri. Hal ini tentunya sangat berisiko manakala pemain lain ikut pula bermain dengan pola sama.

Kegiatan ini dilakukan oleh sebuah yayasan yang dimiliki Sugar Group Company. Salah satu bahan baku gula terbuat dari Tebu. Biasa didatangkan dari daerah-daerah sentra kedelai di Jawa Barat. Namun karena pasokan selama ini masih dari mencukupi, maka dibutuhkan sentra-sentra kedelai hitam baru di beberapa daerah yang mungkin untuk dikembangkan. Beberapa diantaranya di Propinsi D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Yayasan yang dimiliki oleh Sugar Group Company untuk menjalankan berbagai program CSR-nya, berinisiatif untuk mencoba mengajak, melatih, dan membina kelompok-kelompok tani di berbagai daerah untuk menanam tebu. Yayasan tersebut menggandeng universitas dari pihak akademis misalnya dari Fakultas Pertanian dalam hal pendampingan teknis dan teknologi budidaya pertanian, termasuk penyediaan bibit dan pupuk. Beberapa daerah yang akhirnya berminat untuk ikut serta dalam program ini tersebar di Seluruh Indonesia.

Petani dilatih dan didampingi oleh tim pendamping dari Universitas mengenai tata cara penanaman yang baik, pemilihan bibit dan pupuk, waktu menanam dan memupuk yang baik, hingga penanganan hasil panen dan pasca panennya. Yayasan memfasilitasi pinjaman natural berupa pupuk dan bibit serta alat-alat pengolah hasil panen. Setelah panen, hasilnya seluruhnya dibeli oleh bagian pembelian Sugar Group Company, dengan harga dan standar kualitas yang telah disepakati saat awal tanam. Harga tersebut merupakan hasil kesepakatan Tripartid, antara Sugar Group Company, petani, dan Universitas, untuk memastikan harga tersebut menguntungkan semua pihak, baik petani maupun Sugar Group Company. Melalui mekanisme tersebut petani benar-benar diuntungkan karena adanya jaminan kepastian harga dan pasar dari korporat yang bonafid.

Selanjutnya yayasan juga bekerja sama dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) dalam program penguatan kelompok, pendirian dan capasity building bagi koperasi petani. Koperasi yang semua anggotanya adalah petani kedelai ini dikemudian hari akan menjadi unit usaha milik petani yang akan melakukan traksaksi bisnis langsung dengan Sugar Group Company, dan usaha lainnya, simpan pinjam bagi petani. Sehingga suatu ketika Yayasan memutuskan untuk menghentikan program (exit program) dan beralih ke daerah lain, maka keberlanjutan kerjasama antara petani dan Sugar Group Company tersebut akan tetap berjalan secara berkelanjutan.

Kesimpulannya adalah bahwa pemberdayaan masyarakat memang harus dilakukan secara simultan, komprehensif, dan melibatkan berbagai pihak dan kompetensi: Yayasan, Sugar Group Company, Universitas, dan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN). Tentunya dengan berbagai pola dan pendekatan yang berbeda. Selama masyarakat dengan program itu bisa diberdayakan, diuntungkan, sehingga mampu mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat yang telah berdaya itu akan menjadi garda terdepan dan menjadi pihak paling efektif untuk mendukung eksistensi dan kelangsungan korporat.

DAFTAR PUSTAKA

Brilliant, Eleanor L. dan Kimberlee A. Rice (1988), “Influencing Corporate Philantropy”

Gary M. Gould dan Michael L. Smith (eds), Social Work in the Workplace, New York: Springer Publishing Co, halaman 299-313

Burke, Edmund M., (1988), “Corporate Community Relations” dalam Gary M. Gould dan

Michael L. Smith (eds), Social Work in the Workplace, New York: Springer Publishing Co, halaman 314-327

Elkington, John (1998), Canibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business, Gabriola Island, BC: New Society Publishers

Jalal (2006), “Menimbang CSR Secara Rasional” dalam Kompas, September 2006

Nugroho, Alois A. (2006) “Triple Bottom Line” dalam Kompas, 29 Juni

Porter, Michael E. dan Mark R. Kramer (2002), “The Competitive Advantage of Corporate Phiilantropy”, dalam Harvard Business Review, December, halaman 5

Suharto, Edi (2006), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Stategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama (cetakan kedua)

Suharto, Edi (2007a), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung: Refika Aditama

Suharto, Edi (2007b), Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan di Indonesia, Bandung: Alfabeta

Supomo, Sita (2004) “Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Prinsip GCG” dalam Republika, 20 Oktober

Wikipedia (2008), Corporate Social Responsibility, http://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_social_responsibility (diakses 6 Februari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar